Lamongan, sebuah kabupaten dengan potensi besar di Jawa Timur, seringkali berjuang dengan tantangan yang menghambat kemajuannya. Salah satu hambatan terbesar yang mengakar adalah korupsi. Praktik-praktik tercela ini memiliki dampak domino yang merusak pembangunan ekonomi, menyebabkan investasi minggat, dan pada akhirnya, membuat rakyat melarat di Lamongan.
Korupsi menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi investor, baik domestik maupun asing. Ketika investor mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya di Lamongan, mereka mencari stabilitas, kepastian hukum, dan transparansi. Namun, jika mereka mencium adanya praktik suap dalam perizinan, pengadaan barang, atau bahkan dalam penegakan kontrak, keraguan akan muncul.
Fenomena “biaya siluman” atau uang pelicin yang tak resmi untuk mempercepat proses birokrasi, misalnya, secara langsung meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan. Hal ini mengurangi daya saing investasi Lamongan dibandingkan daerah lain yang lebih bersih. Akibatnya, alih-alih berinvestasi, banyak pihak justru memilih untuk minggat, membawa serta potensi lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Lamongan. Pertumbuhan ekonomi yang lambat inilah yang pada akhirnya menahan laju penurunan angka kemiskinan
Dampak korupsi juga sangat terasa pada alokasi dan pemanfaatan anggaran pembangunan. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, atau sekolah berkualitas, justru disalahgunakan. Proyek-proyek bisa jadi mangkrak, tidak sesuai standar, atau bahkan fiktif.
Sebagai contoh di Lamongan, kasus korupsi dana desa, pembangunan rumah potong hewan unggas (RPH-U), hingga dugaan korupsi pada program PJU (Penerangan Jalan Umum) yang terjadi beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana uang rakyat tidak digunakan sebagaimana mestinya. Masyarakat Lamongan lah yang akhirnya merasakan dampak langsungnya: akses jalan yang buruk menghambat distribusi hasil pertanian, fasilitas kesehatan yang tidak memadai mempersulit layanan, dan kualitas pendidikan yang rendah menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ini semua berkontribusi pada lingkaran kemiskinan.
Korupsi juga memperparah kemiskinan dengan menciptakan ketidakadilan. Ketika sumber daya publik dikuasai oleh segelintir koruptor, masyarakat umum, terutama yang rentan, akan semakin kesulitan mengakses peluang ekonomi. Dana bantuan sosial yang seharusnya sampai ke tangan mereka bisa dipotong atau disalahgunakan.