Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia, namun tantangan utama yang dihadapi selama ini adalah kualitas biji yang belum terfermentasi sempurna, sehingga harga jualnya di pasar global cenderung rendah. Kini, melçalui fokus pada kakao fermentasi, Indonesia membuka pintu baru menuju pasar premium Eropa. Potensi Ekspor Kakao fermentasi ini sangat besar, didorong oleh permintaan konsumen Eropa yang semakin tinggi terhadap cokelat spesialti (specialty chocolate) dengan profil rasa yang kaya dan unik. Langkah ini merupakan transisi penting dari sekadar kuantitas menuju kualitas.
Proses fermentasi adalah kunci untuk mengeluarkan cita rasa asli biji kakao dan meningkatkan nilai jualnya hingga 50% lebih tinggi daripada biji yang tidak terfermentasi. Fermentasi, yang biasanya memakan waktu 3 hingga 7 hari, berfungsi menghilangkan keasaman dan mengembangkan prekursor rasa cokelat. Potensi Ekspor Kakao fermentasi sangat diincar oleh pasar Eropa, khususnya Belgia dan Swiss, yang merupakan pusat produsen cokelat kelas dunia. Mereka membutuhkan biji kakao dengan kadar air rendah (maksimal 7%) dan tingkat fermentasi yang seragam.
Untuk mendukung peningkatan kualitas ini, Kementerian Pertanian telah mengalokasikan bantuan teknis dan 100 unit kotak fermentasi standar kepada 50 kelompok tani di sentra kakao utama, seperti Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 1 April 2026. Program ini fokus pada edukasi pascapanen, mengajarkan petani cara melakukan fermentasi yang tepat untuk menghasilkan biji grade A. Kepala Balai Besar Pelatihan Pertanian, Bapak Antonius Setyawan, dalam laporan evaluasi program, menyatakan bahwa kelompok tani yang menerapkan fermentasi standar berhasil menjual hasil panen mereka dengan harga Rp45.000 per kilogram, jauh di atas harga pasar kakao non-fermentasi yang hanya Rp30.000 per kilogram.
Namun, Potensi Ekspor Kakao ini juga dihadapkan pada tantangan regulasi, khususnya EU Deforestation Regulation (EUDR) yang mulai diterapkan ketat pada akhir 2024. Regulasi ini mewajibkan eksportir membuktikan bahwa produk kakao mereka tidak berasal dari lahan deforestasi setelah 2020. Untuk memastikan kepatuhan, Badan Karantina Pertanian kini bekerja sama dengan 5 startup teknologi untuk menyediakan sistem ketertelusuran (traceability) berbasis GPS dan blockchain. Sistem ini memungkinkan importir di Eropa untuk melacak asal muasal setiap batch kakao hingga ke lokasi kebunnya, memastikan keberlanjutan dan membuka jalan bagi dominasi kakao spesialti Indonesia di pasar Eropa.